(Bagian Terakhir dari Tetralogi)
Oleh
HAMDI AKHSAN
I
Guru....
Dalam hiruk pikuknya peradaban yang menini bobokkan ruhani manusia,
Masih ada bibir-bibir pencinta yang bergetar membisikkan rindu ditengah gelapnya malam,
bagai ratapan Maulana Rumi merindukan Samsuddin Tabriz yang menghilang bagaikan bayangan dari konya,
bibir-bibir yang merintih sampaikan pinta bak ibunda Musa tatkala hanyutkan putra tercinta ke tengah ganasnya sungai Nil.
II
dan Kini di Ghaza ada Ayyub-Ayyub kecil yang sanggup lafazkan kidung Ilahi dalam kepungan musuh Allah.
yang tatkala siang menjelang, mereka dilatih jadi thalut-thalut kecil melemparkan batu ke tank-tank laknatullah zionis.
Nyanyian puja guru Rumi berganti menjadi pekikan takbir para mujahidin kecil di tanah Palestina,
Seruling bambu sang Maulana Agung berubah menjadi kumandang jihad yang menggetarkan jiwa para musuh,
Zikir Sang Wali quthub Seikh Abdul Qadir Jailani memberi inspirasi perjuangan para putra Bagdad melawan para penjajah,
sungguh,sebuah transformasi cinta yang didalamnya mengalir sungai darah para syuhada.
Dalam alunan takbir, terbayang sambutan tujuhpuluh bidadari di Jannatul Ma'wa.
III
Guru...
Dalam dinamika yang membawa gravitasi peradaban demikian kuat berpusar pada materi,
ada jiwa-jiwa yang haus untuk menjadi musafir pencari kebenaran, namun tiada guru yang menunjuki.
Mereka bagai anak elang yang tersesat ditengah belantara kehidupan, hingga pekikannyapun lemah bak kicauan burung pipit,
dam ketika kuceritakan tentang cahaya ruhani zamanmu yang mampu memadamkan api abadi zoroaster di Persia,
mereka hanya termangu...,
Betapa sedihnya aku, zamanku telah mengamputasi kemuliaan masa lalu tanpa mereka menyadarinya.
IV
Ingin kukatakan pada mereka, untuk menjadi pengemban misi cinta Ilahi engkau harus memiliki seperangkat ciri.
Ciri Sang Rajawali Raja Angkasa yang tak terlena dengan kejelai tanah yang berhamburan yang menjadi jatah burung pipit,
atau menginginkan pekerjaan tikus pengerat yang tak peduli pada pemiliknya demi sebuah kerakusan,
tidak, engkau adalah pengembang amanah sejati dari sang pembawa misi Agung Muhammad,
ditanganmmu...segala kemuliaan menanti sebagai penguasa jagat.
Mata mereka terperangah guru!
Kulihat sosok-sosok ayam yang coba mengangkat harga dirinya dengan memakai mantel musang,
dan sang musang tersenyum melihat hancurnya sebuah harga diri para pencinta,
Kidung suci Sang Syekh telah menjadi asing ditelinga mereka berganti dengan bunyi guitar dan piano yang tiada makna,
kecuali hanya kepuasan sesaat,kemudian hampa.
V
Kebangkitan yang diserukan Sir Muhammad Iqbal juga tinggal slogan,
bahkan guru!di hari ini hampir tidak ada generasi pelanjut yang mengenalmu,apalagi untuk mengemban misi sucimu!
yang terdengar adalah dendangan kecapi suling yang mendayu-dayu bagaikan sang penyair meratapi tepian runtuh,
bukan pekikan rajawali yang menggentarkan musuh disegenap penjuru bumi.
Guru...
Dalam keterpencilan yang meluluhlantakkan,
Kadang muncul seberkas cahaya para pencinta yang berkelap-kelip ditengah terangnya peradaban berhala,
walau sedikit,cukuplah.
Sebagaimana dulu pribadi Agung Rasulullah memulai dengan sedikit manusia untuk membersihkan kotoran bumi,
Aku juga akan terus mencari murid-murid yang siap susuri langkah para pejuang agung di masa silam,
sebuah harapan yang banyak ditertawakan orang,
bagaikan tertawanya Sang Elang melihat burung pipit yang mencoba melengking menirukan suara Rajawali,
bagaikan tertawanya Jalut ketika melihat Thalut yang kecil dengan tabah menyerang tentara Jalut dengan sebuah ketapel,
Biarlah guru...
Bukankah seperti katamu, bahwa batu granit pun akan hancur tatkala ditetesi air mengalir sepanjang waktu,
asal...ia terus mengalir dan mengalir,
sampai sang Pemilik datang memanggil.
Inderalaya, 23 November 2010.
Murid
Related Posts :
- Back to Home »
- syair pak hamdi »
- SYAIR CINTA SANG PENGEMBARA (EPILOG)