Posted by : Marchsada Sunday, January 9, 2011



       (Bagian pertama)

       Oleh
       Hamdi Akhsan

I
Dalam gelapnya malam seorang hamba berbisik sendu,
Kekasih...betapa ingin hamba melihat wajah-Mu,
yang kurindu disepanjang perjalanan Mujahadahku,
yang karena rindu ini hamba mengembara arungi samudera dan daki tajamnya gunung batu,
Dan airmataku mengalir bagaikan sungai darah dalam kerinduan nan bisu.
Kekasih...hamba rindu.

Dalam kerinduan yang hebat,
tiba-tiba ada bisikan yang begitu dalam menyengat,
Hentakkan kesadaran bahwa rindunya masuki jalan yang sesat,
dan mengalir deras jawaban atas  kerinduan melalui rangkaian ayat-ayat.

Wahai pencinta!Ingatkah engkau bahwa kerinduanmu bagaikan rindunya Musa,
Yang mendaki gunung sinai untuk melihat wajah-Ku yang ia cinta,
Tapi, dalam kefanaanmu sebagai makhluk yang nista,
baru terkena cahaya-Ku gunung sudah terbelah.

II
Ingatlah juga perjalanan Ibrahim Sang Khalil yang beruntung ,*
Tatkala ia  ingin melihat Allah dalam wujud-Nya Yang Maha Agung
Disuruh  memisahkan cincangan burung tubuh  di empat puncak gunung,
kembalilah mereka secara utuh sambil bertasbih kepada Allah melalui kicauan dan senandung.

Wahai hamba,
Bukankah telah cukup bagimu cara untuk bermusyahadah,
Alquran telah memberikan pedoman dan rambu-rambu arah,
Bahkan dalam firman-Nya yang suci  dan agung  Ia telah berkata,
Sesungguhnya Aku dekat, lebih dekat dari urat leher tempat mengalir darah,

III
Wahai para pencinta Ilahi yang tak pernah menyerah,
engkau dapat melihat-Ku disetiap tetesan embun yang mengalir di pagi buta,
engkau dapat menemukan kasih sayang-Ku di lembutnya tangan ibunda yang memeluk bayi yang tiada daya,
engkaupun bisa menemukan-Ku dimata anak yatim piatu yang hidup terlunta dan teraniaya.
Itulah Musyahadah.

Musyahadah...
adalah kasyafnya mata seorang hamba dengan keagungan yang Indah,
Mengiggil tubuh yang fana menatap bintang dan renungkan keindahan jagat raya,
dan di setiap ciptaan ada indah dan sempurnanya keagungan dan ketinggian Sang Pencipta.

Musyahadah bukanlah pencarian mudah bak burung pipit mengambil padi di tengah sawah,
atau didapat seorang hamba tanpa merasakan  perihnya perjalanan mujahadah,
Ia adalah mutiara berharga yang berada jauh didalam samudera terbawah,
yang didapat dengan perjuangan panjang yang pantang menyerah.

IV
Kasyafnya manakah yang sang hamba diinginkan?,
bagaikan Umar Al Faruq yang selamatkan pasukan nun jauh di pegunungan,
atau nampaknya fitnah akhir zaman dalam pandangan Huzaifah hamba pilihan,
Ataukah kasyafnya mata seorang murid yang karena dunia kemudian ia tergoda syaitan.

Sungguh berat, ketika mata hati telah terbuka,
pilihan seorang murid hanyalah Allah suka dan syaitan yang berduka,
Manakala didalam batinnya ada debu kesombongan dan condong pada dunia suka,
maka ia harus bersiap diri untuk digolongkan sebagai  hamba yang celaka.

V
Ilahi yang Maha Tinggi,
kalaulah Musyahadah merupakan pemberian yang Engkau Ridhoi,
Berilah hamba kekuatan untuk menjaga dan meningkatkan keimanan diri,
Tapi...bila akan memberi kedurhakaan dan mengurangi kasihmu yang tiada bertepi,
biarlah hamba-Mu yang lemah dan mengharapkan cinta-Mu tetap seperti keadaan dihari ini.

menjadi sebutir debu ditengah jagat raya rahmat-Mu,
asalkan hamba boleh menangis merindukan-Mu.


Inderalaya, 26 Desember 2010
Al Faqir


Hamdi Akhsan
       (Bagian ke dua : Mahabbatullah)
      
       Oleh
       Hamdi Akhsan


I
Betapa ingin aku mencintai-Mu bagaikan gemetarnya jari ditiap nada seruling bambu,
atau desiran badai menyapu pasir gurun selama ribuan tahun berlalu,
Tiada saksi dan tiada bekas, hanya ada waktu yang membisu,
sedang nyanyianku sumbang, parau dan pilu,
kekasih...hamba rindu.

Betapa ingin aku mencintai-Mu bagaikan ombak menderu bertemu pantai,
atau bagaikan usapan embun dihelai daun yang membelai,
atau derunya ombak samudera menerpa pantai,
Kekasih...hamba rindu.

Kekasih...
Betapa ingin aku mencintai-Mu  bagai bunda Musa menahan pedih kala hanyutkan putra tercinta demi kehidupan,
atau tegaknya cinta Halimatus Syakdiah pada-Mu dalam minyak membara yang menyejukkan,
atau padamnya api namrudz yang membakar Ibrahim dalam ketegaran,
kekasih...hamba rindu.

II
Betapa mempesona kidung Daud atas nama cinta,
harumnya darah Imam Husein yang syahid di padang karbala,
Lelapnya tidur Ashabul Kahfi dalam lembut dan indahnya belaian cinta.
serta Airmata rindu Rabiatul adawiyah yang tersedu dalam kerinduan yang membara,
Kekasih...hamba rindu.

Cinta-Mu telah membakar pasukan Tarikh bin Ziad seberangi  samudera ganas taklukkan eropa,
Menggigilkan jasad Zainal Abidin As-Sajjad dalam munajad yang menggetarkan angkasa,
Atau bagaikan cinta Laksamana Ceng Ho arungi tujuh benua dan tujuh samudera,
Rindu yang membakar api cinta Al-Bara bin Malik  taklukkan Kisra di Persia.
Bak kidung  Hassan bin Sabbit yang wujud dalam sholawat badariah,
kekasih...hamba rindu.

III
Tatkala kutatap bintang-bintang diujung Jagat raya nan jauh bertasbih pada-Mu,
hamba tangisi kekerdilan dan ketaksyukuran diri atas nikmat-Mu,
Wahai, bagaimana akan kudapatkan cinta-Mu,
diriku tak berharga sebutir debu,
Kekasih...hamba rindu.

Ditengah heningnya fajar,
ada bibir tak henti beristighfar,
tadahkan tangis ke langit dengan gemetar,
sambil memohon Ridho pada-Nya yang Maha Ghoffar.
Kekasih...hamba Rindu.

Inderalaya, 29 Desember 2010
Al Faqir


Hamdi Akhsan

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

- Copyright © SASTRA - ILMU - HIKMAH -machsada-